Minggu, 21 Juni 2009

PERKEMBANGAN KOGNITIF REMAJA

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan kekuatan kepada kita sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah yang sederhana ini dengan judul “Perkembangan Kognitif Pada Masa Remaja”
Perkembangan kognitif remaja membahas tentang perkembangan remaja dalam berfikir (proses kognisi/proses mengetahui ). Menurut J.J. Piaget, remaja berada pada tahap operasi formal, yaitu tahap berfikir yang dicirikan dengan kemampuan berfikir secara hipotetis, logis, abstrak, dan ilmiah. Pada usia remaja, operasi-operasi berpikir tidak lagi terbatas pada obyek-obyek konkrit seperti usia sebelumnya, tetapi dapat pula dilakukan pada proposisi verbal (yang bersifat abstrak) dan kondisi hipotetik (yang bersifat abstrak dan logis).
Sebagai mana di ketahui makalah ini belum memenuhi kesempurnaan yang dikehendaki untuk suatu karya ilmiah, hal ini di sebabkan oleh karena penulis belum berpengalaman dalam membuat suatu karangan ilmiah.
Oleh sebab itu segala kritik serta saran-saran dari berbagai pihak akan di terima dengan senang hati yang lapang dan jiwa yang benar, guna perbaikan dimasa-masa yang akan datang.
Demikianlah semoga tulisan ini bermanfaat hendaknya bagi kita semua, terima kasih



Penulis


PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN KOGNITIF REMAJA

A. Pengertian Remaja

Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam http://rumahbelajarpsikologi.com /2009/05/23/remaja.). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence). (http://rumahbelajarpsikologi.com /2009/05/23/remaja)
Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia & Olds, 2001).
Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Menurut Adams & GullotTa (dalam http://rumahbelajarpsikologi.com /2009/05/23/remaja) masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.
Papalia & Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.
Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).
Yang dimaksud dengan perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds, 2001). Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya pertambahan tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif, misalnya perubahan cara berpikir secara konkret menjadi abstrak (Papalia dan Olds, 2001, dalam http://rumahbelajarpsikologi.com /2009/05/23/remaja).

B. Tahap Perkembangan Kognitif pada Remaja
Tahap perkembangan kognitif pada remaja secara garis besar dapat ditinjau dari dua segi perubahan-perubahan perkembangan kognitif, diantaranya adalah:
a. Pemikiran Operasional Formal
Pemikiran operasional formal (formal operational though), yaitu suatu tahap perkembangan kognitif yang dimulai pada usia kira-kira 11 atau 12 tahun daqn terus berlanjut sampai remaja mencapai masa tenang atau dewasa. Pada tahap ini anak sudah dapat berpikir secara abstrak dan hipotesis serta mampu memikirkan sesuatu yang akan terjadi (sesuatu yang abstrak). (Samsunuwiyati, 2005, hal 195).
Ditinjau dari perspektif teori kognitif Piaget bahwa pemikiran operasional berlangsung antara usia 11 hingga 15 tahun. Beberapa gagasan Piaget tentang pemikiran operasional formal baru-baru ini ditantang (Byrnes, 1988; Danner, 1989; Keating, sedang dicetak; Lapsley, 1989; Overton & Byrnes, 1991; Overton & Montangero, 1991), ternyata terdapat lebih banyak variasi individual pada pemikiran operasional formal dari pada yang dibayangkan oleh piaget. Hanya kira-kira satu dari tiga remaja muda adalah pemikir operasional formal. (John W. Santrock, 2002, hal 10)
Ketika remaja berpikir lebih abstrak dan idealistis, mereka mereka juga berpikir lebih logis. Remaja mulai berpikir seperti ilmuwan, yang menyusun rencana-rencana untuk memecahkan masalah-masalah dan menguji pemecahan masalah secara sistematis. Tipe pemecahan masalah ini diberi nama penalaran deduktif hipotestis. Penalaran deduktif hipotetis (hypothetical deductive reasoning) adalah konsep operasional formal Piaget, yang menyatakan bahwa remaja memiliki kemampuan kognitif untuk mengembangkan hipotesis, atau dugaan terbaik, mengenai cara memecahkan masalah, seperti persamaan aljabar. Kemudian mereka menarik kesimpulan secara sistematis, atau menyimpulkan, pola mana yang diterapkan dalam memecahkan masalah. (John W. Santrock, 2002, hal 10)
Akan tetapi, anak tahap formal operasional mulai mampu memecahkan masalah dengan membuat perencanaan kegiatan terlebih dahhulu dan berusaha mengantisipasi berbagai macam informasi yang akan diperlukannya untuk memecahkan masalah tersebut.
Piaget membedakan gaya pemikiran formal operasional dari gaya pemikiran konkrit operasional dalam tiga hal penting (dalam Samsunuwiyati, 2005, hal 196), yaitu:
1. penekanan pada kemungkinan versus kenyataan (emphasizing the possible versus the real)
2. penggunaan penalaran ilmiah (using scientific reason), kualitas ini terlihat ketika remaja harus memecahkan beberapa masalah secara sistematis.
3. kecakapan dalam mengkombinasikan ide-ide (skillfully combinting ideas)
ciri-ciri pemikiran operasional formal dapat dirumuskan dalam 3 bentuk yaitu remaja berpikir secara abstrack, idealistis dan logis (dalam John W. Santrock, 2002, hal 11), yaitu:
1. berpikir abstrak yaitu remaja dapat memecahkan persamaan-persamaan aljabar yang abstrak.
2. berpikir idealistis yaitu remaja sering berpikir tentang apa yang mungkin, mererka berpikir tentang ciri ideal diri mereka sendiri, orang lain dan dunia.
3. berpikir logis yaitu remaja mulai berpikir seperti ilmuwan, yang menyusun rencana unutk memecahkan masalah-masalah dan menguji secara sistematis pemecahan-pemecahan masalah.
b. Perkembangan Pengambilan Keputusan
Remaja adalah masa dimana terjadi peningkatan pengambilan keputusan. Dalam hal ini mulai mengambil keputusan-keputusan tentang masa depan, keputusan dalam memilih teman, keputusan tentang apakah melanjutkan kuliah setelah tamat SMU atau mencari kerja, keputusan untuk mengikuti les bahasa inggris atau computer, dan sebagainya. (dalam Samsunuwiyati, 2005, hal 198)
Transisi dalam pengambilan keputusan muncul kira-kira pada usia 11 hingga 12 tahun dan pada usia 15 hingga 16 tahun. Misalnya, dalam suatu studi, murid-murid kelas delapan, sepuluh, dan dua belas diberikan dilemma-dilemayang meliputi pilihan atas suatu prosedur medis. Murid-murid yang paling tua cendrung menyebutkan secara spontan berbagai resiko, menyarankan konsultasi dengan seorang ahli luar, dan mengantisipasiakibat-akibat masa depan. (dalam John W. Santrock, 2002, hal 13)
Pengambilan keputusan oleh remaja yang lebih tua sering kali jauh dari sempurna, dan kemampuan untuk mengambil keputusan tidak menjamin bahwa keputusan semacam itu akan dibuat dalam kehidupan sehari-hari, luasnya pengalaman sering memainkan peran yang sangat penting. Untuk itu, remaja perlu memiliki lebih banyak peluang untuk mempraktekan dan mendiskusikan pengambilan keputusanyang realistis. Salah satu strategi untuk meningkatkan keterampilan pengambilan keputusan remaja terhadap pilihan-pilihan dalam dunia nyata seperti masalah seks, obat-obatan dan dan kebut-kebutan di jalan adalah dengan mengembangkan lebih banyak peluang bagi remaja untuk terlibat dalam permainan peran dan pemecahan masalah kelompok yang berkaitaqn dengan kondisi-kondisi semacam itu di sekolah. (dalam Samsunuwiyati, 2005, hal 198)
c. Perkembangan Orientasi Masa Depan
Seperti yang dikemukakan Elizabet B. Hurlock(1981, dalam Samsunuwiyati, 2003, hal 199), remaja mulai memikirkan tentang masa masa depan mereka secara sungguh-sungguh. Remaja mulsi memberikan perhatian yang besar terhadap berbagai lapangan kehidupan yang akan dijalaninya sebagai manusai dewasa dimasa yang mendatang. Diantara lapangan kehidupan dimasa depan yang banyak mendapat perhatian remaja adalah lapangan pendidikan (Nurmi, 1959 dalam Samsunuwiyati, 2005, hal 199), disamping dunia kerja dan hidup berumah tangga.
Menurut G. Trosmnisdorff (1983 dalam Samsunuwiyati, 2005, hal 199), orientasi masa depan merupakan fenomena motivasional yang kompleks yakni antisipasi dan evaluasi tentang dari masa depan dalam interaksinya dengan lingkungan. Menurut Nurmi orientasi masa depan berkaitan erat dengan harapan, tujuan, standar, rencana dan strategi pencapaian tujuan di masa yang akan dating.
Sebagai suatu fenomena kognitif motivasional yang kompleks, orietasi masa depan berkaitan erat dengan skema kognitif yaitu suatu organisasi perceptual dari pengalaman masa lalu beserta kaitannya dengan pengalaman masa kini dan di masa yang akan datang.
Menurut Nurmi (1991 dalam Samsunuwiyati, 2005, hal 200), skema kognitif tersebut berinteraksi dengan tiga tahap proses pembentukan orientasi masa depan yaitu:
1. tahap motivasional
Merupakan tahap awal pembentukan orientasi masa depan remaja. Tahap ini mencakup motif, minat dan tujuan yang berkaitan dengan orientasi masa depan.


2. tahap planning
Perencanaan merupakan tahap kedua proses pembentukan orientasi masa depan individu, yaitu bagaimana remaja membuat perencanaan tentang perwujudan minat dan tujuan mereka. Dalam hal ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• penentuan subtujuan
• penyusunan rencana
• melaksanakan rencana dan strategi yang telah disusun
3. tahap evaluation
merupakan tahap akhir dari proses pembentukan orientasi masa depan.
d. Perkembangan Kognisi Sosial
Menurut David Elkind (1976 dalam John W. Santrock, 2002, hal 11), pemikiran remaja bersifat egosentris, yakin bahwa egosentrisme remaja (adolescent egocentrism) memiliki dua bagian yaitu:
1. penonton khayalan (imaginary audience)
Merupakan keyakinan remaja bahwa orang lain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya dengan dirinya sendiri. Perilaku mengundang perhatian, umu terjadi pada masa remaja, mencerminkan egosentrisme dan keinginan untuk tampil diatas pentas, diperhatikan, dan terlihat. Bayangkan anak laki-laki kelas delapan yang menganggap diri sebagai seorang aktor dan semua orang lain adalah penonton ketika ia menatap kebintik kecil dicelana panjangnya. Bayangkan seorang anak perempuan kelas tujuh yang menganggap bahwa semua mata terpaku kepada corak kulitnya karena ada cacat yang kecil sekali pada wajahnya.
2. dongeng pribadi
merupakan bagian dari egosentrisme remaja yang meliputi perasaan-perasaan unik seorang remaja. Rasa unik pribadi remaja membuat mereka merasa bahwa tidak seorang pun dapat mengerti bagaimana perasaan mereka sebenarnya.

e. Perkembangan Penalaran Moral
Menurut Kohlberg adalah bagian dari penalaran (reasoning), sehingga ia menamakannya dengan penalaran moral (moral reasoning), penalaran atau pertimbangan tersebut berkenaan dengan keluasan wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Relasi diri dengan orang lain ini didasarkan atas prinsip equality artinya orang lain sama derajatnya dengan diri. Jadi, antara diri dan diri orang lain dapat dipertukarkan. Ini disebut prinsip reciprocity. Moralitas pada hakikatnya adalah penyelasaian konflik antara diri dan diri orang lain, antara hak dan kewajiban. (Samsunuwiyati, 2003, hal 206)
Dengan demikian, orang yang bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang mendasarkan tindakannya atas penilaian baik buruknya sesuatu. Karena bersifat penalaran maka perkembangan moral menurut Kohlberg sejalan dengan perkembangan nalar sebagaimana yang dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget tersebut, makin tinggi pula tingkatan moralnya. Dengan penekanannya pada penalaran ini, berarti Kohlberg ingin melihat struktur proses kognitif yang mendasari jawaban atau pun perbuatan-perbuatan moral.
f. Perkembangan Pemahaman tentang Agama
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adam & Gullotta (1983, dalam Samsunuwiyati, 2003, hal 208), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.

C. Perubahan-Perubahan Kognitif pada Masa Remaja
Ada 5 perubahan Kognitif pada masa perkembangan remaja (dalam http://my.opera.com /2009/05/23/), yaitu
a. Remaja sudah bisa melihat ke depan (future) ke hal-hal yg mungkin, termasuk mengerti keterbatasannya dlm memahami realita. à sistem abstraksi, pendekatan & penalaran yg sistematis (logis-idealis), sampai ke berfikir hipotetis à berdampak pd perilaku sosia, berperan dlm meningkatkan kemampuan membuat keputusan
b. Remaja mampu berfikir abstrak. Kemampuan ini berdampak dan dapat diaplikasikan dalam proses penalaran dan berfikir logis
c. Remaja mulai berfikir lebih sering ttg berfikir itu sendiri à biasa dikenal dg istilah Metacognition, yaitu monitoring ttg aktivitas kognitifnya sendiri selama proses berfikir à menjadikannya instrospektif à terkait dengan adolescence egocentrism
d. Pemikirannya lebih multidimensional dibandingkan singular à mampu melihat dr berbagai perspektif àlebih sensitif pd kata-kata sarkastik, sindiran “double entendres”
e. Remaja mengerti hal-hal yg bersifat relatif, tdk selalu absolut à sering muncul saat remaja meragukan sesuatu à ditandai dg seringnya berargumentasi dengan OT terutama ttg nilai-nilai moral Information Processing Abilities
f. Kemampuan seseorang dalam memproses, mengolah informasi-informasi yang telah dimilikinya
1. Membutuhkan kemampuan dlm konsentrasi
• Selective attention à memfokuskan pd salah satu stimulus dan membuang yg lain
• Devided attention à kemampuan memfokuskan diri pd lebih dr 2 stimulus pd saat yang sama
2. Membutuhkan kemampuan dlm memperkaya kemampuan memorinya
• working memory & short term memory à kemampuan mengingat sesuatu yg belum lama terjadi
• long-term memory à kemampuan mengingat dan mengenal kembali sesuatu yg sudah lama terjadi
• menggunakan fungsi remember & recall Social Cognition Remaja.
Kemampuan remaja dlm menggunakan kognisinya dlm menghadapi permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapinya Meliputi aktivitas kognitif: (dalam http://my.opera.com /2009/05/23/)
a. Berfikir ttg orang lain
b. Berfikir ttg hubungan social
c. Berfikir ttg institusi social.
Dibedakan menjadi 3 :
• Impression Formation
• Social Perspective Taking
• Moraly and Social Convention

PENUTUP
a. Kesimpulan
Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity. Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).
Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal.
Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

Perubahan-perubahan tersebut dalam segi kognitif dapat dilihat dari beberapa perkembangan yaitu:
a. Pemikiran Operasional Formal
b. Perkembangan Pengambilan Keputusan
c. Perkembangan Orientasi Masa Depan
d. Perkembangan Kognisi Sosial
e. Perkembangan Penalaran Moral
f. Perkembangan Pemahaman tentang Agama

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Samsunuwiyati, Psikologi Perkembangan, Bandung; Melrat Losda Karya, 2005
Santrock, John W, The Span Development (Perkembangan Masa Hidup), Jakarta; Erlangga, 2002
Diane E. Papalia, et. Al. Human Development (Psikologi Perkembangan), Jakarta; Kencana, 2008
http://rumahbelajarpsikologi.com /2009/05/23/remaja)
http://my.opera.com /2009/05/23/

Tidak ada komentar: