Senin, 22 Juni 2009

Langkah-langkah dalam Memberikan Bimbingan Konseling di Sekolah

Langkah-langkah dalam Memberikan Bimbingan Konseling di Sekolah
Posted on Juni 22, 2009 by Safril

Langkah-langkah dalam Memberikan Bimbingan Konseling di Sekolah
Agar memudahkan Anda melakukan layanan bimbingan dan konseling di sekolah, hendaknya perlu diketahui langkah-langkah yang harus dilakukan dalam memberikan layanan Bimbingan Konseling pada siswa Anda terutama mereka yang mempunyai masalah. Adapun langkah-langkah tersebut meliputi:
a. Identifikasi Masalah
Pada langkah ini yang harus diperhatikan guru adalah mengenal gejala-gejala awal dari suatu masalah yang dihadapi siswa. Maksud dari gejala awal disini adalah apabila siswa menujukkan tingkah laku berbeda atau menyimpang dari biasanya. Untuk mengetahui gejala awal tidaklah mudah, karena harus dilakukan secara teliti dan hati-hati dengan memperhatikan gejala-gejala yang nampak, kemudian dianalisis dan selanjutnya dievaluasi. Apabila siswa menunjukkan tingkah laku atau hal-hal yang berbeda dari biasanya, maka hal tersebut dapat diidentifikasi sebagai gejala dari suatu masalah yang sedang dialami siswa. Sebagai contoh, Benin seorang siswa yang mempunyai prestasi belajar yang bagus, untuk semua mata pelajaran ia memperoleh nilai diatas rata-rata kelas. Dia juga disenangi teman-teman maupun guru karena pandai bergaul, tidak sombong, dan baik hati. Sudah dua bulan ini Benin berubah menjadi agak pendiam, prestasi belajarnyapun mulai menurun. Sebagai guru Bimbingan Konseling, ibu Heni mengadakan pertemuan dengan guru untuk mengamati Benin. Dari hasil laporan dan pegamatan yang dilakukan oleh beberapa orang guru, ibu Heni kemudian melakukan evaluai berdasarkan masalah Benin dengan gejala yang nampak. Selanjutnya dapat diperkirakan jenis dan sifat masalah yang dihadapi Benin tersebut. Karena dalam pengamatan terlihat prestasi belajar Benin menurun, maka dapat diperkirakan Benin sedang mengalmi masalah ” kurang menguasai materi pelajaran “. Perkiraan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan langkah selanjutnya yaitu diagnosis.
b. Diagnosis
Pada langkah diagnosis yang dilakukan adalah menetapkan ” masalah ” berdasarkan analisis latar belakang yang menjadi penyebab timbulnya masalah. Dalam langkah ini dilakukan kegiatan pengumpulan data mengenai berbagai hal yang menjadi latar belakang atau yang melatarbelakangi gejala yang muncul. Pada kasus Benin, dilakukan pengumpulan informasi dari berbagai pihak. Yaitu dari orang tua, teman dekat, guru dan juga Benin sendiri. Dari informasi yang terkumpul, kemudian dilakukan analisis maupun sistesis dan dilanjutkan dengan menelaah keterkaitan informasi latar belakang dengan gejala yang nampak. Dari informasi yang didapat, Benin terlihat menjadi pendiam dan prestasi belajamya menurun. Dari informasi keluarga didapat keterangan bahwa kedua orang tua Benin telah bercerai. Berdasarkan analisis dan sistesis, kemudian diperkirakan jenis dan bentuk masalah yang ada pada diri Benin yaitu karena orang tuanya telah bercerai menyebabkan Benin menjadi pendiam dan prestasi belajarnya menurun, maka Benin sedang mengalami masalah pribadi.
c. Prognosis
Langkah prognosis ini pembimbing menetapkan alternatif tindakan bantuan yang akan diberikan. Selanjutanya melakukan perencanaan mengenai jenis dan bentuk masalah apa yang sedang dihadapi individu. Seperti rumusan kasus Benin, maka diperkirakan Benin menghadapi masalah, rendah diri karena orang tua telah bercerai sehingga merasa kurang mendapat perhatian dari mereka. Dari rumusan jenis dan bentuk masalah yang sedang dihadapi Benin, maka dibuat alternatif tindakan bantuan, seperti memberikan konseling individu yang bertujuan untuk memperbaiki perasaan kurang diperhatikan, dan rendah diri. Dalam hal ini konselor menawarkan alternatif layanan pada orang tua Benin dan juga Benin sendiri untuk diberikan konseling. Penawaran tersebut berhubungan dengan kesediaan individu Benin sebagai orang yang sedang mempunyai masalah (klien). Dalam menetapkan prognosis, pembimbing perlu memperhatikan: 1) pendekatan yang akan diberikan dilakukan secara perorangan atau kelompok 2) siapa yang akan memberikan bantuan, apakah guru, konselor, dokter atau individu lain yang lebih ahli 3) kapan bantuan akan dilaksanakan, atau hal-hal apa yang perlu dipertimbangkan.
Apabila dalam memberi bimbingan guru mengalami kendala, yaitu tidak bisa diselesaikan karena terlalu sulit atau tidak bisa ditangani oleh pembimbing, maka penanganan kasus tersebut perlu dialihkan penyelesainnya kepada orang yang lebih berwenang, seperti dokter, psikiater atau lembaga lainnya. Layanan pemindahtanganan karena masalahnya tidak mampu diselesaikan oleh pembimbing tersebut dinamakan dengan layanan referal. Pada dasarnya bimbingan merupakan proses memberikan bantuan kepada pihak siswa agar ia sebagai pribadi memiliki pemahaman akan diri sendiri dan sekitarnya, yang selanjutnya dapat mengambil keputusan untuk melangkah maju secara optimal guna menolong diri sendiri dalam menghadapi dan memecahkan masalah, dan siswa atau individu yang mempunyai masalah tersebut menetukan alternatif yang sesuai dengan kemampuannya.
d. Pemberian Bantuan
Setelah guru merencanakan pemberian bantuan, maka dilanjutkan dengan merealisasikan langkah-langkah alternatif bentuk bantuan berdasarakn masalah dan latar belakang yang menjadi penyebanya. Langkah pemberian bantuan ini dilaksanakan dengan berbagai pendekatan dan teknik pemberian bantuan. Pada kasus Benin telah direncanakan pemberian bantuan secara individual. Pada tahap awal diadakan pendekatan secara pribadi, pembimbing mengajak Benin menceritakan masalahnya, mungkin pada awalnya Benin akan sangat sulit menceritakan masalahnya, karena masih memiliki perasaan takut atau tidak percaya terhadap pembimbing. Dalam hal ini pembimbing dituntut kesabarannya untuk bisa membuka hati Benin agar mau menceritakan masalahnya, dan menyakinkan kepada Benin bahwa masalahnya tidak akan diceritakan pada orang lain serta akan dibantu menyelesaikannya. Pemberian bantuan ini dilakukan tidak hanya sekali atau dua kali pertemuan saja, tetapi perlu waktu yang berulang-ulang dan dengan jadwal dan sifat pertemuan yang tidak terikat, kapan Benin sebagai individu yang mempunyai masalah mempunyai waktu untuk menceritakan masalahnya dan bersedia diberikan bantuan. Oleh sebab itu seorang pembimbing harus dapat menumbuhkan transferensi yang positif dimana klien mau memproyeksikan perasaan ketergantungannya kepada pembimbing (konselor).
e. Evaluasi dan Tindak Lanjut
Setelah pembimbing dan klien melakukan beberapa kali pertemuan, dan mengumpulkan data dari beberapa individu, maka langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi dan tindak lanjut. Evaluasi dapat dilakukan selama proses pemberian bantuan berlangsung sampai pada akhir pemberian bantuan. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik, seperti melalui wawancara, angket, observasi diskusi, dokumentasi dan sebagainya. Dalam kasus Benin, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara antara pembimbing dengan Benin sendiri, pembimbing dengan orang tua Benin, teman dekat atau sahabat Benin, dan beberapa orang guru. Observasi juga dilakukan terhadap Benin pada jam istirahat, bagaimana Benin bergaul dengan temannya, bagaimana teman-temannya memperlakukan Benin dan sebagainya. Sedang observasi yang dilakukan baik oleh pembimbing maupun guru, yaitu untuk mengetahui aktivitas Benin dalam menerima pelajaran, sikapnya di dalam kelas saat mengikuti pembelajaran. Pembimbing juga berkunjung kerumah Benin guna mengetahui kondisi rumah Benin sekaligus mewawancarai orang tuanya mengenai sikap Benin di rumah Dari beberapa data yang telah tekumpul, kemudian pembimbing mengadakan evaluasi untuk mengetahui sampai sejauh mana upaya pemberian bantuan telah dilaksanakan dan bagaimana hasil dari pemberian bantuan tersebut, bagaimana ketepatan pelaksanaan yang telah diberikan. Dari evaluasi tersebut dapat diambil langkah-langkah selanjutnya; apabila pemberian bantuan kurang berhasil, maka pembimbing dapat merubah tindakan atau mengembangkan bantuan kedalam bentuk yang berbeda

Pengertian Etika, Moral dan Etiket

Pengertian Etika, Moral dan Etiket
Posted on Juni 22, 2009 by Safril
Pengertian Etika, Moral dan Etiket
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 – mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dari perbadingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama hanya terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di berita surat kabar “Dalam dunia bisnis etika merosot terus” maka kata ‘etika’ di sini bila dikaitkan dengan arti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena maksud dari kata ‘etika’ dalam kalimat tersebut bukan etika sebagai ilmu melainkan ‘nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’ dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap.
K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut :
1. nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
2. kumpulan asas atau nilai moral.
Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik
3. ilmu tentang yang baik atau buruk.
Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.
PENGERTIAN MORAL
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Pengertian Etiket
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diberikan beberapa arti dari kata “etiket”, yaitu :
1. Etiket (Belanda) secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang (dagang) yang bertuliskan nama, isi, dan sebagainya tentang barang itu.
2. Etiket (Perancis) adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu diperhatikan dalam pergaulan agar hubungan selalu baik.
Perbedaan Etiket dengan Etika
K. Bertens dalam bukunya yang berjudul “Etika” (2000) memberikan 4 (empat) macam perbedaan etiket dengan etika, yaitu :
1. Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Misal : Ketika saya menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Jika saya menyerahkannya dengan tangan kiri, maka saya dianggap melanggar etiket.
Etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari perbuatan itu sendiri. Misal : Dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa izin karena mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama artinya dengan mencuri. “Jangan mencuri” merupakan suatu norma etika. Di sini tidak dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri.
2. Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada orang lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misal : Saya sedang makan bersama bersama teman sambil meletakkan kaki saya di atas meja makan, maka saya dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau saya sedang makan sendirian (tidak ada orang lain), maka saya tidak melanggar etiket jika saya makan dengan cara demikian.
Etika selalu berlaku, baik kita sedang sendiri atau bersama orang lain. Misal: Larangan mencuri selalu berlaku, baik sedang sendiri atau ada orang lain. Atau barang yang dipinjam selalu harus dikembalikan meskipun si empunya barang sudah lupa.
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Misal : makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan.
Etika bersifat absolut. “Jangan mencuri”, “Jangan membunuh” merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar.
4.. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang berpegang pada etiket bisa juga bersifat munafik. Misal : Bisa saja orang tampi sebagai “manusia berbulu ayam”, dari luar sangan sopan dan halus, tapi di dalam penuh kebusukan.
Etika memandang manusia dari segi dalam. Orang yang etis tidak mungkin bersifat munafik, sebab orang yang bersikap etis pasti orang yang sungguh-sungguh baik.

Teori Belajar Konsep

Teori Belajar Konsep dan Strategi Penerapannya di Kelas
Posted on Juni 22, 2009 by Safril

Teori Belajar Konsep dan Strategi Penerapannya di Kelas
Hal yang harus disadari saat ini adalah pentingnya belajar konsep tentang sesuatu. Konsep yang dimaksud disini tidak lain dari kategori-kategori yang kita berikan dari stimulus atau rangsangan yang ada di lingkungan kita. Konsep yang ada di dalam struktur kognitif individu merupakan hasil dari pengalaman yang ia peroleh. Jika keadaannya demikian, sebagian konsep yang dimiliki individu merupakan hasil dari proses belajar yang mana proses hasil dari proses belajar ini akan menjadi pondasi (building blocks) dalam struktur berpikir individu. Konsep-konsep inilah yang dijadikan dasar oleh seseorang dalam memecahkan masalah, mengetahui aturan-aturan yang relevan, dan hal-hal lain yang ada keterkaitannya dengan apa yang harus dilakukan oleh individu.
Definisi konsep menurut sebagian besar orang adalah sesuatu yang diterima dalam pikiran atau ide yang umum dan abstrak. Menurut salah satu ahli, konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili suatu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama (Croser, 1984).
Tujuh dimensi konsep menurut Flavell (1970) adalah:
atribut
struktur
keabstrakan
keinklusifan
generalitas/keumuman
ketepatan
kekuatan atau power
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan suatu abstraksi mental dari pengalaman responsif terhadap stimulus.
Cara Individu Memperoleh Konsep-konsep
Menurut teori Ausubel (1968), individu memperoleh konsep melalui dua cara, yaitu melalui formasi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep menyangkut cara materi atau informasi diterima peserta didik. Formasi konsep diperoleh individu sebelum ia masuk sekolah, karena proses perkembangan konsep yang diperoleh semasa kecil termodifikasi oleh pengalaman sepanjang perkembangan individu. Formasi konsep merupakan proses pembentukan konsep secara induktif dan merupakan suatu bentuk
belajar menemukan (discovery learning) melalui proses diskriminatif, abstraktif dan diferensiasi. Contoh pemerolehan konsep pada anak adalah ketika anak melihat benda atau orang yang ada di lingkungan terdekatnya. Misalnya, pada saat seorang anak yang baru berumur 2 tahun memanggil Bapak dan Ibunya pertama kali karena setiap hari Bapak dan Ibunya selalu bersama-sama anak tersebut. Anak menyebut diri yang memandikan dan meninabobokkan saat tidur adalah Ibu dan menggendong serta mengajaknya bermain adalah Bapak.
Sedangkan asimilasi konsep menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada. Asimilasi konsep terjadi setelah anak mulai memasuki bangku sekolah. Asimilasi konsep ini terjadi secara deduktif. Biasanya anak diberi atribut sehingga mereka belajar konseptual, misalnya atribut dari gajah adalah hewan dan belalai. Dengan demikian anak dapat membedakan antara konsep gajah dengan hewan-hewan lain
Tingkat-tingkat Pencapaian Konsep
Empat tingkat pencapaian konsep menurut Klausmeier (Dahar, 1996:88) adalah sebagai berikut:
1). Tingkat konkret
Pencapaian tingkat ini ditandai dengan adanya pengenalan anak terhadap suatu benda yang pernah ia kenal. Misalnya pada suatu saat anak bermain kelereng dan pada waktu yang lain dengan tempat yang berbeda ia menemukan lagi kelereng, lalu ia bisa mengidentifikasi bahwa itu adalah kelereng maka anak tersebut sudah mencapai tingkat konkret. Dengan demikian dapat dikatakan juga anak mampu membedakan stimulus yang ada di lingkungannya terhadap kelereng tersebut. Pada saat ini anak sudah mampu menyimpan gambaran mental dalam struktur kognitifnya.
2). Tingkat identitas
Seseorang dapat dikatakan telah mencapai tingkat konsep identitas apabila ia mengenal suatu objek setelah selang waktu tertentu, memiliki orientasi ruang yang berbeda terhadap objek itu, atau bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indra yang berbeda. Misalnya mengenal kelereng dengan cara memainkannya, bukan hanya dengan melihatnya lagi.
3). Tingkat klasifikatori
Pada tingkat ini anak sudah mampu mengenal persamaan dari contoh yang berbeda tetapi dari kelas yang sama. Misalnya anak mampu membedakan antara apel yang masak dengan apel yang mentah.
4). Tingkat formal
Pada tingkat ini anak sudah mampu membatasi suatu konsep dengan konsep lain, membedakannya, menentukan ciri-ciri, memberi nama atribut yang membatasinya, bahkan sampai mengevaluasi atau memberikan contoh secara verbal.
Strategi Pembelajaran Konsep di SD
Ada 2 strategi utama yang dapat digunakan untuk pembelajaran konsep, yaitu melalui pendekatan inkuiri dan pendekatan ekspositori. Pada pendekakatan inkuiri, para peserta didik dapat diperlihatkan sekelompok benda yang berbeda yang satu sekelompok benda yang merupakan contoh dari konsep yang ingin disampaikan, dan sekelompok benda yang lain merupakan yang bukan contoh dari konsep yang ingin disampaikan. Cara penyampaiannya dapat bermacam-macam dari pengkelompokkan secara tertulis atau melalui bentuk gambar maupun suara. Selanjutnya, para peserta didik diminta untuk melakukan permainan tebak-tebakan. Mereka diminta melengkapi kelompok benda yang merupakan contoh konsep dan juga yang bukan contoh konsep. Mungkin diantara mereka ada yang berhasil mengkategorikan kelompok benda yang contoh dan bukan contoh konsep tersebut, dan adapula yang tidak berhasil. Pada akhirnya, para peserta didik akan tergiring dan termotivasi untuk berfikir dan menemukan contoh-contoh dari konsep yang dimaksud yang mereka kembangkan sendiri. Pendekatan inkuiri lebih cocok digunakan untuk peserta didik di kelas-kelas awal SD, tentunya dengan bimbingan guru.
Strategi kedua untuk mengajarkan konsep adalah dengan pendekatan ekpositori. Berbeda dengan inkuiri, pada pendekatan ekspositori, peserta didik dimotivasi sejak awal untuk menemukan contoh-contoh yang dikembangkannya sendiri untuk mengkategorikan sebuah konsep. Namun demikian, tetap guru harus menjelaskan secara rinci tentang konsep yang dibicarakan. Pendekatan ekspositori lebih sesuai digunakan di kelas-kelas tinggi di SD, karena para siswa di kelas tinggi di SD sudah dapat diajak berpikir detil, dan komprehensif.

Peranan Fisioterapi Dalam Gangguan Perkembangan Anak

Peranan Fisioterapi Dalam Gangguan Perkembangan Anak
Posted on Juni 22, 2009 by Safril

PERANAN FISIOTERAPI DALAM GANGGUAN PERKEMBANGAN ANAK
Oleh Team Maibel Terapi Terpadu
Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu bergerak, yang menunjukkan bahwa dia ada, berubah, berpindah, dan berkomunikasi.
Arti bergerak secara umum adalah berubahnya satu bagian atau seluruh tubuh untuk mengerjakan sesuatu dengan tujuan tertentu. Sedangkan arti bergerak secara khusus adalah adanya kerjasama antara otak, saraf, otot, tulang dan sendi yang disebabkan adanya stimulasi dari luar melalui indera tubuh untuk mengerjakan sesuatu dengan tujuan tertentu.
Pergerakan seseorang bisa dikatakan normal bila gerakan tersebut mempunyai nilai kekuatan normal serta mempunyai makna dan tujuan tertentu.
DEFINISI FISIOTERAPI
Fisioterapi berasal dari kata f isik dan terapi. Fisik yang dimaksud ialah tubuh dan anggota geraknya. Terapi berarti memulihkan.
Jadi f isioterapi ialah pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh.
RERAN FISIOTERAPI
Setiap manusia mengalami apa yang namanya tumbuh dan berkembang. Tumbuh kembang sendiri memiliki asas, yaitu :
• Berlangsung terus menerus sejak pembuahan sampai dewasa yang
dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan.
• Tumbuh kembang bergantung pada kematangan (maturitas) sistem saraf.
• Urutan tumbuh kembang setiap individu selalu sama, tetapi kecepatannya
berbeda antar individu satu dengan lainnya.
• Refiek primitif akan hilang dan digantikan dengan gerakan yang disadari.
• Arah tumbuh kembang dimulai dari atas ke bawah (chepalocaudaf).
Di dalam tubuh manusia terdapat kapasitas fisik dan kemampuan fungsional. Fisioterapi bertanggung jawab terhadap kapasitas fisik dan kemampuan fungsional tersebut.
Kapasitas fisik berupa
• Tonus otot
• Kekuatan otot
• Luas gerak sendi
Kemampuan fungsional berupa
Tidur miring
Berguling
Merayap
Merangkak
Duduk
Berdiri
Apa yang dilakukan oleh fisioterapi terhadap macam-macam gangguan dalam tumbuh kembang anak di atas ?
• Pemberian massage guna merileksasikan atau meningkatkan tonus otot.
• Pemberian latihan aktif berupa aktivitas permainan.
• Meningkatkan head control don control postural.
• Memberikan penguluran (stretching] atau pengaturan posisi agar suatu otot
beda dalam posisi memanjang (elongation] pada otot yang mengalami pemendekan atau yang potensial untuk terjadi pemendekan.
• Menghambat ref lek primitif yang masih ada.
• Memberikan latihan weight bearing.
• Menstimulasi perkembangan anak.
• Mengkoreksi postur
• Mengkoreksi pola jalan anak.

Teori-teori dalam Kepemimpinan

Teori-teori dalam Kepemimpinan
Posted on Juni 22, 2009 by Safril

Teori-teori dalam Kepemimpinan
Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membutuhkan kepemimpinan. Untuk berbagai usaha dan kegiatannya diperlukan upaya yang terencana dan sistematis dalam melatih dan mempersiapkan pemimpin baru. Oleh karena itu, banyak studi dan penelitian dilakukan orang untuk mempelajari masalah pemimpin dan kepemimpinan yang menghasilkan berbagai teori tentang kepemimpinan.
Teori kepemimpinan merupakan penggeneralisasian suatu seri perilaku pemimpin dan konsep-konsep kepemimpinannya, dengan menonjolkan latar belakang historis, sebab-sebab timbulnya kepemimpinan, persyaratan pemimpin, sifat utama pemimpin, tugas pokok dan fungsinya serta etika profesi kepemimpinan (Kartini Kartono, 1994: 27).
Teori kepemimpinan pada umumnya berusaha untuk memberikan penjelasan dan interpretasi mengenai pemimpin dan kepemimpinan dengan mengemukakan beberapa segi antara lain :
Latar belakang sejarah pemimpin dan kepemimpinan
Kepemimpinan muncul sejalan dengan peradaban manusia. Pemimpin dan kepemimpinan selalu diperlukan dalam setiap masa.
Sebab-sebab munculnya pemimpin
Ada beberapa sebab seseorang menjadi pemimpin, antara lain:
a.Seseorang ditakdirkan lahir untuk menjadi pemimpin.
Seseorang menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan dan pendidikan serta didorong oleh kemauan sendiri
b.Seseorang menjadi pemimpin bila sejak lahir ia memiliki bakat kepemimpinan kemudian dikembangkan melalui pendidikan dan pengalaman serta sesuai dengan tuntutan lingkungan
Syarat-syarat kepemimpinan
Konsepsi mengenai persyaratan kepemimpinan selalu dikaitkan dengan kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan.
Tipe dan gaya kepemimpinan
Pemimpin mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang khas, sehingga tingkah laku dan gayanya berbeda dari orang lain.
Teori-teori dalam kepemimpinan pada umumnya menunjukkan perbedaan karena setiap teoritikus mempunyai segi penekanannya sendiri yang dipandang dari satu aspek tertentu.
Teori-teori dalam Kepemimpinan
1. Teori Sifat
Teori ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki pemimpin itu. Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Dan kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya. Ciri-ciri ideal yang perlu dimiliki pemimpin menurut Sondang P Siagian (1994:75-76) adalah:
- pengetahuan umum yang luas, daya ingat yang kuat, rasionalitas, obyektivitas, pragmatisme, fleksibilitas, adaptabilitas, orientasi masa depan;
- sifat inkuisitif, rasa tepat waktu, rasa kohesi yang tinggi, naluri relevansi, keteladanan, ketegasan, keberanian, sikap yang antisipatif, kesediaan menjadi pendengar yang baik, kapasitas integratif;
- kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang, analitik, menentukan skala prioritas, membedakan yang urgen dan yang penting, keterampilan mendidik, dan berkomunikasi secara efektif.
Walaupun teori sifat memiliki berbagai kelemahan (antara lain : terlalu bersifat deskriptif, tidak selalu ada relevansi antara sifat yang dianggap unggul dengan efektivitas kepemimpinan) dan dianggap sebagai teori yang sudah kuno, namun apabila kita renungkan nilai-nilai moral dan akhlak yang terkandung didalamnya mengenai berbagai rumusan sifat, ciri atau perangai pemimpin; justru sangat diperlukan oleh kepemimpinan yang menerapkan prinsip keteladanan.
2. Teori Perilaku
Dasar pemikiran teori ini adalah kepemimpinan merupakan perilaku seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Dalam hal ini, pemimpin mempunyai deskripsi perilaku:
a. konsiderasi dan struktur inisiasi
Perilaku seorang pemimpin yang cenderung mementingkan bawahan memiliki ciri ramah tamah,mau berkonsultasi, mendukung, membela, mendengarkan, menerima usul dan memikirkan kesejahteraan bawahan serta memperlakukannya setingkat dirinya. Di samping itu terdapat pula kecenderungan perilaku pemimpin yang lebih mementingkan tugas organisasi.
b. berorientasi kepada bawahan dan produksi
perilaku pemimpin yang berorientasi kepada bawahan ditandai oleh penekanan pada hubungan atasan-bawahan, perhatian pribadi pemimpin pada pemuasan kebutuhan bawahan serta menerima perbedaan kepribadian, kemampuan dan perilaku bawahan. Sedangkan perilaku pemimpin yang berorientasi pada produksi memiliki kecenderungan penekanan pada segi teknis pekerjaan, pengutamaan penyelenggaraan dan penyelesaian tugas serta pencapaian tujuan.
Pada sisi lain, perilaku pemimpin menurut model leadership continuum pada dasarnya ada dua yaitu berorientasi kepada pemimpin dan bawahan. Sedangkan berdasarkan model grafik kepemimpinan, perilaku setiap pemimpin dapat diukur melalui dua dimensi yaitu perhatiannya terhadap hasil/tugas dan terhadap bawahan/hubungan kerja.
Kecenderungan perilaku pemimpin pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari masalah fungsi dan gaya kepemimpinan (JAF.Stoner, 1978:442-443)
3. Teori Situasional
Keberhasilan seorang pemimpin menurut teori situasional ditentukan oleh ciri kepemimpinan dengan perilaku tertentu yang disesuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan dan situasi organisasional yang dihadapi dengan memperhitungkan faktor waktu dan ruang. Faktor situasional yang berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan tertentu menurut Sondang P. Siagian (1994:129) adalah
* Jenis pekerjaan dan kompleksitas tugas;
* Bentuk dan sifat teknologi yang digunakan;
* Persepsi, sikap dan gaya kepemimpinan;
* Norma yang dianut kelompok;
* Rentang kendali;
* Ancaman dari luar organisasi;
* Tingkat stress;
* Iklim yang terdapat dalam organisasi.
Efektivitas kepemimpinan seseorang ditentukan oleh kemampuan “membaca” situasi yang dihadapi dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar cocok dengan dan mampu memenuhi tuntutan situasi tersebut. Penyesuaian gaya kepemimpinan dimaksud adalah kemampuan menentukan ciri kepemimpinan dan perilaku tertentu karena tuntutan situasi tertentu.
Sehubungan dengan hal tersebut berkembanglah model-model kepemimpinan berikut:
a. Model kontinuum Otokratik-Demokratik
Gaya dan perilaku kepemimpinan tertentu selain berhubungan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, juga berkaitan dengan fungsi kepemimpinan tertentu yang harus diselenggarakan. Contoh: dalam hal pengambilan keputusan, pemimpin bergaya otokratik akan mengambil keputusan sendiri, ciri kepemimpinan yang menonjol ketegasan disertai perilaku yang berorientasi pada penyelesaian tugas.Sedangkan pemimpin bergaya demokratik akan mengajak bawahannya untuk berpartisipasi. Ciri kepemimpinan yang menonjol di sini adalah menjadi pendengar yang baik disertai perilaku memberikan perhatian pada kepentingan dan kebutuhan bawahan.
b. Model ” Interaksi Atasan-Bawahan” :
Menurut model ini, efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung pada interaksi yang terjadi antara pemimpin dan bawahannya dan sejauhmana interaksi tersebut mempengaruhi perilaku pemimpin yang bersangkutan.
Seorang akan menjadi pemimpin yang efektif, apabila:
* Hubungan atasan dan bawahan dikategorikan baik;
* Tugas yang harus dikerjakan bawahan disusun pada tingkat struktur yang tinggi;
* Posisi kewenangan pemimpin tergolong kuat.
c. Model Situasional
Model ini menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung pada pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa bawahan. Dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam model ini adalah perilaku pemimpin yang berkaitan dengan tugas kepemimpinannya dan hubungan atasan-bawahan. Berdasarkan dimensi tersebut, gaya kepemimpinan yang dapat digunakan adalah
* Memberitahukan;
* Menjual;
* Mengajak bawahan berperan serta;
* Melakukan pendelegasian.
d. Model ” Jalan- Tujuan ”
Seorang pemimpin yang efektif menurut model ini adalah pemimpin yang mampu menunjukkan jalan yang dapat ditempuh bawahan. Salah satu mekanisme untuk mewujudkan hal tersebut yaitu kejelasan tugas yang harus dilakukan bawahan dan perhatian pemimpin kepada kepentingan dan kebutuhan bawahannya. Perilaku pemimpin berkaitan dengan hal tersebut harus merupakan faktor motivasional bagi bawahannya.
e. Model “Pimpinan-Peran serta Bawahan” :
Perhatian utama model ini adalah perilaku pemimpin dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan. Perilaku pemimpin perlu disesuaikan dengan struktur tugas yang harus diselesaikan oleh bawahannya.
Salah satu syarat penting untuk paradigma tersebut adalah adanya serangkaian ketentuan yang harus ditaati oleh bawahan dalam menentukan bentuk dan tingkat peran serta bawahan dalam pengambilan keputusan. Bentuk dan tingkat peran serta bawahan tersebut “didiktekan” oleh situasi yang dihadapi dan masalah yang ingin dipecahkan melalui proses pengambilan keputusan.

Teori-Teori Umum tentang Perilaku Menyimpang

Teori-Teori Umum tentang Perilaku Menyimpang
Posted on Juni 22, 2008 by Safril

Teori-Teori Umum tentang Perilaku Menyimpang
Teori-teori umum tentang penyimpangan berusaha menjelaskan semua contoh penyimpangan sebanyak mungkin dalam bentuk apapun (misalnya kejahatan, gangguan mental, bunuh diri dan lain-lain). Berdasarkan perspektifnya penyimpangan ini dapat digolongkan dalam dua teori utama. Perpektif patologi sosial menyamakan masyarakat dengan suatu organisme biologis dan penyimpangan disamakan dengan kesakitan atau patologi dalam organisme itu, berlawanan dengan model pemikiran medis dari para psikolog dan psikiatris. Perspektif disorganisasi sosial memberikan pengertian pemyimpangan sebagai kegagalan fungsi lembaga-lembaga komunitas lokal. Masing-masing pandangan ini penting bagi tahap perkembangan teoritis dalam mengkaji penyimpangan.

Teori-Teori Sosiologi tentang Perilaku Menyimpang
Teori anomi adalah teori struktural tentang penyimpangan yang paling penting selama lebih dari lima puluh tahun. Teori anomi menempatkan ketidakseimbangan nilai dan norma dalam masyarakat sebagai penyebab penyimpangan, di mana tujuan-tujuan budaya lebih ditekankan dari pada cara-cara yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan budaya itu. Individu dan kelompok dalam masyarakat seperti itu harus menyesuaikan diri dan beberapa bentuk penyesuaian diri itu bisa jadi sebuah penyimpangan. Sebagian besar orang menganut norma-norma masyarakat dalam waktu yang lama, sementara orang atau kelompok lainnya melakukan penyimpangan. Kelompok yang mengalami lebih banyak ketegangan karena ketidakseimbangan ini (misalnya orang-orang kelas bawah) lebih cenderung mengadaptasi penyimpangan daripada kelompok lainnya.
Teori sosiologi atau teori belajar memandang penyimpangan muncul dari konflik normatif di mana individu dan kelompok belajar norma-norma yang membolehkan penyimpangan dalam keadaan tertentu. Pembelajaran itu mungkin tidak kentara, misalnya saat orang belajar bahwa penyimpangan tidak mendapat hukuman. Tetapi pembelajaran itu bisa juga termasuk mangadopsi norma-norma dan nilai-nilai yang menetapkan penyimpangan diinginkan atau dibolehkan dalam keadaan tertentu. Teori Differential Association oleh Sutherland adalah teori belajar tentang penyimpangan yang paling terkenal. Walaupun teori ini dimaksudkan memberikan penjelasan umum tentang kejahatan, dapat juga diaplikasikan dalam bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Sebenarnya setiap teori sosiologis tentang penyimpangan mempunyai asumsi bahwa individu disosialisasikan untuk menjadi anggota kelompok atau masyarakat secara umum. Sebagian teori lebih menekankan proses belajar ini daripada teori lainnya, seperti beberapa teori yang akan dibahas pada Bab berikutnya.

Teori Labeling
Teori-teori umum tentang penyimpangan mencoba menjelaskan semua bentuk penyimpangan. Tetapi teori-teori terbatas lebih mempunyai lingkup penjelasan yang terbatas. Beberapa teori terbatas adalah untuk jenis penyimpangan tertentu saja, atau untuk bentuk substantif penyimpangan tertentu (seperti alkoholisme dan bunuh diri), atau dibatasi untuk menjelaskan tindakan menyimpang bukan perilaku menyimpang. Dalam bab ini perpektif-perpektif labeling, kontrol dan konflik adalah contoh-contoh teori-teori terbatas yang didiskusikan.
Perspektif labeling mengetengahkan pendekatan interaksionisme dengan berkonsentrasi pada konsekuensi interaksi antara penyimpang dengan agen kontrol sosial. Teori ini memperkirakan bahwa pelaksanaan kontrol sosial menyebabkan penyimpangan, sebab pelaksanaan kontrol sosial tersebut mendorong orang masuk ke dalam peran penyimpang. Ditutupnya peran konvensional bagi seseorang dengan pemberian stigma dan label, menyebabkan orang tersebut dapat menjadi penyimpang sekunder, khususnya dalam mempertahankan diri dari pemberian label. Untuk masuk kembali ke dalam peran sosial konvensional yang tidak menyimpang adalah berbahaya dan individu merasa teralienasi. Menurut teori labeling, pemberian sanksi dan label yang dimaksudkan untuk mengontrol penyimpangan malah menghasilkan sebaliknya.

Teori Kontrol
Perspektif kontrol adalah perspektif yang terbatas untuk penjelasan delinkuensi dan kejahatan. Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau macetnya integrasi sosial. Kelompk-kelompok yang lemah ikatan sosialnya (misalnya kelas bawah) cenderung melanggar hukum karena merasa sedikit terikat dengan peraturan konvensional. Jika seseorang merasa dekat dengan kelompok konvensional, sedikit sekali kecenderungan menyimpang dari aturan-aturan kelompoknya. Tapi jika ada jarak sosial sebagai hasil dari putusnya ikatan, seseorang merasa lebih bebas untuk menyimpang.

Teori Konflik
Teori konflik adalah pendekatan terhadap penyimpangan yang paling banyak diaplikasikan kepada kejahatan, walaupun banyak juga digunakan dalam bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Ia adalah teori penjelasan norma, peraturan dan hukum daripada penjelasan perilaku yang dianggap melanggar peraturan. Peraturan datang dari individu dan kelompok yang mempunyai kekuasaan yang mempengaruhi dan memotong kebijakan publik melalui hukum. Kelompok-kelompok elit menggunakan pengaruhnya terhadap isi hukum dan proses pelaksanaan sistem peradilan pidana. Norma sosial lainnya mengikuti pola berikut ini. Beberapa kelompok yang sangat berkuasa membuat norma mereka menjadi dominan, misalnya norma yang menganjurkan hubungan heteroseksual, tidak kecanduan minuman keras, menghindari bunuh diri karena alasan moral dan agama.
Homoseksualitas menyangkut orientasi dan perilaku seksual. Perilaku homoseksual adalah hubungan seks antara orang yang berjenis kelamin sama. Orientasi homoseksual adalah sikap atau perasaan ketertarikan seseorang pada orang lain dengan jenis kelamin yang sama untuk tujuan kepuasan seksual. Lebih banyak perilaku homoseksual dibandingkan orang yang memiliki orientasi homoseksual. Norma dan aturan hukum yang melarang homoseksualitas dianggap kuno, di mana opini masyarakat akhir-akhir ini lebih bisa menerima homoseksualitas.
Perkembangan suatu orientasi homoseksualitas terjadi dalam konteks biologis. Tetapi makna sesungguhnya dari orientasi tersebut berada dalam proses sosialisasi seksual dan penerimaan serta indentifikasi peran seks. Sosialisasi seksual adalah suatu proses yang kompleks yang dimulai dari belajar norma. Norma-norma seksual mengidentivikasi objek seksual, waktu, tempat dan situasi. Banyak kombinasi yang mungkin dapat terjadi dan termasuk terjadinya kesalahan dalam sosialisasi. Preferensi seksual terbentuk saat masa remaja, walaupun banyak juga para homoseksual yang menjadi homoseksual di usia yang lebih tua. Penerimaan identifas homoseksual terjadi setelah suatu proses peningkatan aktivitas homoseksual dan partisipasi dalam suatu subkebudayaan homoseksual atau komunikasi homoseksual. Secara sosiologis, seorang homoseksual adalah orang yang memiliki identitas homoseksual.

Homoseksualitas Perempuan (Lesbianisme)
Lesbianisme, sama dengan homoseksual pada laki-laki, terjadi melalui penerimaan orientasi seksual lesbian. Lesbian lebih cenderung membangun orientasi seksualnya dalam konteks hubungan pertemanan dengan perempuan lainnya. Hubungan seks antara lesbian, terjadi dalam konteks berjalannya hubungan sosial dengan perempuan lain. Hubungan antara para lesbian umumnya berlangsung dalam jangka waktu lama, bukan berarti para homoseks tidak membangun hubungan seperti ini. Namun lesbian lebih cenderung selektif dalam memilih pasangan seks dan tidak banyak terlibat dalam subkebudayaan lesbian. Karena lesbianisme ini lebih bersifat pribadi dan rahasia, para lesbian tidak banyak mendapat ancaman dari stigma sosial atau hukum. Perilaku dan orientasi seksual mereka tidak begitu nyata bagi orang lain. Dan karena alasan ini, para lesbian tidak banyak membutuhkan dukungan suasana subkebudayaan lesbian.

Jika Anak Suka Mencuri

JIKA ANAK SUKA MENCURI
Posted on Juni 22, 2009 by Safril

JIKA ANAK SUKA MENCURI
Kadang-kadang orang tua merasa terkejut dan bingung sewaktu pertama kali mengetahui anaknya mencuri. Orang tua lantas mungkin berpikir bahwa ini merupakan hal yang wajar dalam perkembangan anak. Anggapan ini tentu saja tidak benar. Meskipun banyak anak mencuri tak berarti itu merupakan bagian dari perkembangan anak. Jadi, sekecil apa pun pencurian yang dilakukan anak, orang tua harus melarang dan menghentikannya.
Barangkali, suatu waktu mencuri merupakan masalah dalam keluarga. Boleh dikata hal ini kerap kali terjadi, terutama dalam keluarga yang memiliki anak berusia empat sampai tujuh tahun. Pada usia ini anak cenderung untuk mengambil apa yang bukan haknya. Sebelum kita menemukan cara untuk memecahkannya, seringkali kita melakukan berbagai kesalahan dulu sebelum akhirnya kita berhasil mengobati kebiasaan mencuri ini dan dengan demikian menemukan rasa saling pengertian dengan anak-anak kita.
Walaupun mencuri merupakan perilaku yang tidak dapat diterima oleh masyarakat, akan tetapi beberapa anak tetap berusaha memuaskan kebutuhannya dengan mencuri. Menurut seorang ahli, ternyata anak-anak itu dalam alam bawah sadarnya seolah-olah mempunyai anggapan bahwa mencuri itu perbuatan yang bisa diterima. Dan anggapan ini sen-diri bisa berasal dari teman-teman mereka, orang tua atau masyarakat sekelilingnya.
Meski tampaknya orang tua tegas di rumah, namun ada-ada saja di antara anak yang suka mencuri, apakah itu barang orang lain, atau barang milik anggota keluarga. Untuk itulah perlu satu cara pendekatan yang manis dan akrab untuk mengubah sifat anak yang suka mencuri itu. Dan bila ternyata cara yang akrab itu tidak dicapai, maka buyarlah harapan-harapan anak, dan orang tua bertindak kasar serta mematahkan jiwa anak.
Sebenarnya, perbuatan mencuri yang dilakukan anak-anak balita bukanlah tingkah laku yang menyimpang. Tetapi bila orang tua tidak menanganinya dengan benar, tingkah laku yang tidak berbahaya itu dapat mengarah menjadi perbuatan yang berakibat lebih jauh.
Mencuri di kalangan anak-anak balita sering terjadi. Ini disebabkan karena mereka belum mempunyai konsep kemilikan. Anak-anak belum mempunyai batas yang tegas antara milik sendiri dan milik orang lain. Bila mereka melihat sesuatu yang disukainya, mereka akan mengam-bilnya. Bagi mereka seolah berlaku prinsip: “Aku lihat, aku suka, aku mau, aku ambil.
Jadi hendaknya jangan dilupakan, bahwa bagi anak kecil penger-tian seperti kemilikan atau hak milik adalah sesuatu yang samar-samar. Misalnya saja, pada usia tiga tahunan lebih anak mulai menggunakan kata-kata “.. .ku” atau “.. .mu” dan itu pun mungkin masih dua-tiga tahun lagi digunakan, sedangkan maksudnya tetap masih belum jelas.
Sehubungan dengan kesulitan bawaan dalam hal menghargai apa yang jadi “milik” mereka dan yang bukan, maka dalam keluarga yang baik-baik anak-anak mendapat kesempatn cukup leluasa untuk melihat, berbagi dan menggunakan bahan atau benda-benda dalam rumah, namun sekaligus diberi bimbingan untuk mengetahui apa yang tidak boleh mereka pakai karena barang tertentu adalah kepunyaan ayah, ibu atau adik kecil, dan hak si pemilik atas barang itu hams selalu dihor-mati. Kemudian, hak milik anak itu sendiri seharusnya juga dihormati, sehingga dari pengalaman tangan pertama ini anak tahu akan batas-batas antara hak milik dan sanksi-sanksi pelindungnya.
Mencuri pada dasarnya selalu menyangkut pihak lain dalam arti tidak menguntungkan. Jelas di sini bahwa ada pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan anak, yang justru menderita akibat perbuatan anak tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa pihak ketiga ini menjadi korban dari persoalan yang disebabkan oleh pihak-pihak lain yang sama sekali tidak ada hubungannya. Karena pencurian merupakan perbuatan yang sering ingin ditutupi oleh orang tua agar tidak merusak nama baik keluarga, maka persoalan yang telah menjadi pangkal sebab perbuatan tersebut juga telah ditutup saja, sehingga akan menambah jumlah korban yang tidak tahu-menahu mengenai adanya persoalan tersebut.
Karena anak-anak yang mencuri sering kali menimbulkan masalah dalam keluarga, maka dalam situasi seperti ini orang tua mudah dimanipulasi oleh anak. Kalau anak sampai mengadu domba antara orang tua yang satu dengan orang tua yang lain, dengan sendirinya hal ini dapat membahayakan hubungan antara anggota keluarga dan juga mempersulit penyelesaian masalah itu.
Namun meskipun demikian, dalam mempersoalkan perbuatan ini dalam hubungan anak-anak kecil, kita harus bersikap hati-hati dengan ucapan kita sendiri. Kita sebaiknya menghindari penggunaan kata”men-curi” dan “pencuri” terhadap anak kecil. Anak kecil umumnya belum menyadari bahwa memperoleh sesuatu dengan cara mengambilnya dari orang lain, berarti bahwa orang lain itu kehilangan benda atau barang yang telah diambilnya. Anak kecil belum mengerti bahwa dengan mengambil benda yang dinginkan tanpa izin si pemilik, ia melanggar hak milik teman tersebut dan akan merugikan si teman itu.
Memang, kemungkinan bahwa gejala mencuri hinggap karena pengaruh-pengaruh yang kurang baik sebagai akibat pergaulan yang tak terbatas. Namun sebenarnya persoalan terletak pada cara memberi pen-didikan pada anak itu sendiri. Si anak tidak akan mudah terpengaruh demikian saja oleh teman-temannya, bila dia diberi modal jiwa yang kuat dan pengertian yang baik.
Guna mencegah dan mengatasi masalah mencuri pada anak-anak, beberapa petunjuk di bawah ini barangkali bisa dijadikan pedoman.
1.Jangan memancing si anak untuk mencuri, misalnya meletakkan
uang di atas meja.
2.Tunjukkanlah kepada anak, bahwa kita mencintainya, juga
pada waktu ia mencuri. Katakanlah bahwa mencuri membuat perasaan
korban tidak senang. la pun tentu akan mengalami perasaan yang sama
bila ada orang lain mencuri miliknya.
3.Tanamkan sistem benar dan salah di rumah kita. Jika seorang
anak mencuri barang anak lain, katakanlah kepadanya agar ia mengem-
balikannya.
4.Tunjukkan kepada anak bahwa ia diperlukan dan dihargai.
Anak yang merasa dihargai tidak akan mencuri.
5.Jika anak ingin membeli sesuatu, percayailah, berilah dia uang
dan biarkan ia membelinya sendiri.
Sumber buku Komunikasi Orang Tua dan Anak Karya Alex Sobur

Tanggung Jawab

Melatih Tanggung Jawab
Posted on Juni 22, 2009 by Safril
Melatih Tanggung Jawab
Tanggung jawab dapat diartikan dengan “bertindak tepat tanpa perlu diperingatkan.” Sedangkan bertanggung jawab merupakan sikap tidak tergantung dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Sifat dapat diserahi tanggung jawab seseorang akan terlihat pada cara ia bertindak dalam keadaan darurat dan cara ia melakukan pekerjaan rutin-nya. Sebenarnya itu tidak merupakan sifat tetapi sikap yang telah men-cakup sifat memperhatikan, ketelitian, kecakapan, dan Iain-lain. Umumnya sifat demikian tidak diturunkan dari orang tua melainkan sesuatu yang dapat dilatih.
Jelasnya, pengertian tanggung jawab di sini adalah kesadaran yang ada dalam diri seseorang bahwa setiap tindakannya akan mempunyai pengaruh bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Karena menyadari bahwa tindakannya itu berpengaruh terhadap orang lain ataupun diri sendiri, maka ia akan berusaha agar tindakan-tindakannya hanya memberi pengaruh positif saja terhadap orang lain dari diri sendiri dan menghindari tindakan-tindakan yang dapat merugikan orang lain ataupun diri sendiri. Dalam keadaan yang kepentingan diri sendiri harus dipertentangkan dengan kepentingan orang lain, maka seorang yang bertanggung jawab akan berusaha memenuhi kepentingan orang lain terlebih dalu.
Sebenarnya kemampuan anak tidak hanya berkembang secara fisik, sebab secara psikologis pun setiap anak akan memperkembangkan rasa tanggung jawab seiring dengan perkembangan emosi dan sosialnya. Makin besar anak, rasa tanggung jawabnya terhadap lingkungan sekitar pun semakin berkembang. Namun, tentu saja semuanya mem-butuhkan rangsangan, agar potensi yang telah ada berkembang sesuai dengan apa yang diharapkan. Caranya adalah dengan memberi banyak latihan dan bimbingan yang membutuhkan banyak kesabaran.
Salah satu ciri dari perkembangan emosi dan sosial pada anak adalah adanya rasa tanggung jawab yang lebih besar. Berkembangnya rasa tanggung jawab ini ditandai dengan usaha serta jerih payah anak untuk melakukan segala sesuatunya dengan baik dan benar. Setiap langkah serta sikap yang mereka ambil hampir dipastikan selalu telah melalui perhitungan yang masak. Semua ini mereka lakukan dalam usaha untuk mewujudkan citra diri yang baik guna memenuhi harapan-harapan orang tua terhadap mereka.
Menanamkan rasa tanggung jawab sebaiknya dilakukan dengan memberi contoh konkrit. Kalau orang tua seenaknya membuang pun-tung rokok atau kulit pisang sembarangan, segala nasihat atau anjuran tidak akan ada hasilnya. Orang tua ada-lah cermin bagi anak-anak dan contoh yang paling dekat untuk ditiru.
Dari sikap dan tingkah laku orang tua, anak secara berangsur-angsur belajar untuk menjadi orang yang bertanggung jawab. Ini berarti anak perlu belajar bahwa apa yang dilakukannya itu mempunyai konsekuensi yang sesuai maupun tidak. Misalnya, anak makan lambat sehingga terlambat datang ke sekolah. Dan kemudian orang tua sengaja tidak menyuruhnya cepat-cepat menghabiskan makanannya serta mem-biarkan ia dimarahi guru atas keterlambatannya itu. Apa yang dilakukan orang tua ini sudah merupakan salah satu cara untuk menga-jarkan anak bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Menjadi orang tua, memang dituntut suatu sikap serta tanggung jawab yang besar juga. Dalam usahanya untuk menjadi tokoh yang dikagumi, sehingga anak-anak meniru mereka, ia tidak hanya meniru apa yang dilihatnya, ia juga mengambil alih perasaan-perasaan orang tua dan mengidentifikasikan diri dengan mereka. Sikap orang tua ini akan meresap dalam kalbu anak dan anggota keluarga yang lain. Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengutamakan gotong-royong untuk kepentingan bersama nanti akan menunjukkan sikap bertanggung jawab terhadap keluarga dan lingkungannya.
Kebanyakan anak ingin melakukan sesuatu dengan benar. Di sam-ping itu mereka juga ingin melakukan sesuatu untuk orang lain. Tetapi, sikap tidak percaya yang ditampilkan orang tua atau orang dewasa lain-nya dengan sekejap dapat mematahkan semua keinginan anak tersebut.
Pada hakikatnya kepercayaan orang tua merupakan sumber keper-cayaan diri anak. Jadi, apabila orang tua percaya pada usaha anak dan bahwa anak bisa menampilkan sesuatu sebagaimana yang diharapkan, maka anak pun akan menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik. Namun, bila anak merasa bahwa orang tua mereka tidak memper-cayainya, anak akan merasa terombang-ambing. la tidak akan memiliki rasa percaya diri bahwa ia akan dapat menyelesaikannya dengan baik. Ini pula yang membuat anak seperti tidak bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Di dalam berbagai hubungan, orang tua tidak patut menuntut terlalu banyak dari anak. Tidak patut menganggap si anak sebagai orang dewasa, yang sudah patut menerima tanggung jawab yang lebih besar. Betapapun, si anak harus diperlakukan sebagai anak sesuai dengan kesanggupannya, menyesuaikan tanggung jawab itu sesuai dengan usia dan kemampuan fisik dan mentalnya. >n~:i~ bnf
Acap kali orang tua salah memberi tanggung jawab kepada anak di rumah, tanpa memikirkan akibat-akibat yang mungkin timbul, mereka memaksakan si anak melakukan tugas yang sebenarnya belum dapa; diselesaikannya. Hal seperti ini membuat si anak merasa kuatir tidak dapat menyelesaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Kekuatiran semacam ini dapat membahayakan perkembangan kepribadian anak.
Kita seyogianya menyadari, bahwa setiap anak dalam suatu keluarga merupakan pribadi-pribadi unik. Masing-masing berbeda secara individual, baik dalam perkembangan maupun kepribadiannya. Oleh sebab itu jenis tugas yang sama belum tentu dapat diselesaikan dengan hasil yang sama baiknya oleh setiap anak. Misalnya saja, saat Elis berusia 5 tahun ia telah mampu rserapikan tempat tidurnya sendiri, suatu prestasi yang belum dapat dicapai saudara-saudaranya sampai beberapa waktu kemudian. Tidaklah bijaksana untuk membanding-bandingkan kemampuan anak yang satu dengan yang lain dalam keluarga. Usia bukanlah satu-satunya faktor yang dapat dijadikan bahan perbandingan. Ada faktor lain yang menunjang kemampur i mereka untuk dapat menyelesaikan suatu tugas tertentu, misalnya faktor ketelitian. Namun secara umum, tahapan usia tetap dapat dipakai sebagai patokan dasar.
Anak yang biasa dihadapkan pada keadaan yang penuh tantangan akan memperoleh kepercayaan diri yang lebih besar. Di samping itu ia akan lebih berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam tugas-tugas rutin kehidupan keluarganya maupun sekolah. Dengan memberi kesempatan pada anak untuk ikut bertanggung jawab berarti secara tidak langsung orang tua mengatakan pada anak, “Ayah percaya kepadamu” atau “Ibu percaya kamu akan mengambil keputusan yang benar.”
Rasa tanggung jawab bukanlah hal yang dapat diletakkan pada seseorang dari luar. Rasa tanggung jawab tumbuh dari dalam, men-dapatkan pemupukan dan pengarahan dari nilai-nilai yang kita hirur dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Rasa tanggung jawab yang tid- . bertumpu pada nilai-nilai positif, dapat berubah menjadi sesuatu yang asosial dan destruktif
Berbicara mengenai tanggung jawab ini, Dr. Haim G. Ginott, dalam bukunya “Between Parent and Child” berpendapat, rasa tanggung jawab sejati harus bersumber pada nilai-nilai asasi kemanusian: hormat kepada hidup sesama manusia, kebebasan, dan pencarian kebahagiaan. Namun kita jarang melihat masalah tanggungg jawab dalam kerangka yang lebih luas itu. Kita cenderung untuk melihat rasa tanggung jawab dari segi-segi yang kongkret: kamar anak bersih atau tidak; anak sering terlambat datang ke sekolah atau tidak; bagaimana dengan pekerjaan rumahnya; bagaimana dengan latihan tarinya; tingkah lakunya sopan atau tidak dan sebagainya.
Sesungguhnya, sebagaimana sering dikatakan para ahli, bahwa anak harus belajar bertanggung jawab atas empat hal. Mainannya, pakaiannya, binatang peliharaannya dan yang terpenting dirinya sendiri. Sebaiknya tanggung jawab diajarkan sedini mungkin. Karena makin terlambat tanggung jawab diajarkan, makin sulitlah baginya kelak untuk memikul tanggung jawab itu. Dan, orang tualah tokoh yang paling bertanggung jawab dalam hal menanamkan rasa tanggung jawab pada anak.
Sumber buku Komunikasi Orang Tua dan Anak Karya Alex Sobur

Rasa Ingin Tahu

Makna Pertanyaan dan Rasa Ingin Tahu
Posted on Juni 22, 2009 by Safril
Makna Pertanyaan dan Rasa Ingin Tahu
Semenjak dilahirkan, manusia memang merupakan makhluk yang selalu ingin tahu. Dalam diri setiap insan akan timbul rasa puas apabila mereka dapat menyelidiki hal-hal yang menggugah rasa ingin tahu mereka. Selama keinginan itu tidak dicegah oleh pihak luar, maka sepanjang hidupnya rasa ingin menyelidiki ini akan senantiasa ada dalam dirinya. Dengan demikian berarti ia mempunyai kemungkinan untuk mengembangkan minatnya secara luas.
“Apa itu?” “Kenapa?” atau “Di mana?” merupakan bentuk per-tanyaan yang kerap kali keluar dari mulut anak-anak yang mulai pandai , jerbicara dan bertanya mengenai segala sesuatu yang dialaminya dalam kontaknya dengan dunia sekitarnya.
Bagi anak-anak, dunia ini sesungguhnya penuh dengan hal-hal yang luar biasa, aneh bahkan misterius. Oleh sebab itu mereka suka mencari tahu dengan meraba atau sekurang-kurangnya dengan bertanya sekitar ‘apa dan mengapa segala sesuatu itu.’
“Ibu, mengapa lampu itu menyala?” Nah, kalau seorang anak kecil sudah mulai bertanya-tanya semacam itu, artinya rasa ingin tahunya sudah mulai tampak. Pertanyaan-pertanyaan itu sering kali penuh humor yang segar, yang tak jarang menjadi sumber kemeriahan suatu keluarga. Namun, betapapun juga, tidak selamanya kita sebagai orang tua berhasil untuk menjawab dan mengolah pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Lantas bagaimana jawabannya? Haruskah diberikan jawaban yang tepat? atau cukup “dibohongin” saja?
Sudah tentu kita harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jujur. Tidak baik bila anak-anak begitu saja dijejali kebohongan. Kasihan bagi pertumbuhan si anak.
Pada umumnya orang tua sering kali merasa kewalahan menghadapi pertanyaan anak-anak mereka. Bahkan ada yang bingung dalam menjawab pertanyaan yang kadang-kadang terlampau sulit untuk dijelaskan kepada anak-anak. Sebetulnya hal itu adalah mudah, karena dasar pertanyaan anak-anak itu, tidak lebih daripada ungkapan rasa ingin tahu terhadap dunia sekitarnya.
Pertanyaan, menurut Prof. Dr. Musthafa Fahmi, adalah usaha un-ak memperjelas sesuatu yang samar dalam salah satu lapangan hidup nak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertanyaan adalah cara rang digunakan anak untuk minta tolong kepada orang dewasa ketika nenghadapi kesukaran dalam suatu keadaan. Setiap pertanyaan yang liajukan anak, mempunyai fungsi psikologis penting dengan tiga segi:
angkapan, pengetahuan dan proses perilaku.
Yang dimaksud dengan segi ungkapan ialah bahwa pertanyaan se-
ring kali merupakan ungkapan tentang kebutuhan jiwa yang dirasakan
anak, mungkin si anak menghadapi persoalana emosi, ia berusaha
mengungkapkannya dalam bentuk pertanyaan.
Suatu jawaban terhadap pertanyaan anak, yang sesuai dengan umurnya dan tingkat pengertiannya, merupakan faktor penting yang menolong anak untuk berkembang; karena pertanyaan merupakan cara, yang melalui pertanyaan tersebut anak berusaha untuk memahami pekerjaan sebagai pendahuluan untuk dapat berhubungan dengannya. Jika perhatian anak tertuju kepada suatu objek, maka ia akan menanyakannya.
Anglo Betray menamakan keinginan untuk mengajukan pertanyaan itu dengan “kelaparan mental”, dan ia berpendapat bahwa perumusan lapar itu perlu, sehingga anak dapat menemukan jawaban atas per-tanyaannya, maka orang tua hams mengetahui sifat pertanyaan keji-waan itu, sehingga mereka dapat memberikan jawaban yang memungkinkan si anak tumbuh dengan baik.
Yang patut disayangkan, orang tua kadang-kadang menghadapi pertanyaan anak secara tidak serius, terkadang pula keadaan mereka memaksa untuk meremehkan jawaban terhadap pertanyaan anak, atau menjawabnya dengan hambar, akibatnya maka kebutuhan akan pengenalan tidak dapat terpenuhi.
Rasa ingin tahu seorang anak, selain tecermin dalam tingkah lakunya yang serba ingin mencoba-coba, juga terlihat dari serentetan pertanyaan-pertanyaan. Nan, menghadapi ini orang tua seyogianya ber-sikap tanggap dan telaten. Berikanlah jawaban-jawaban yang sederhana dengan penjelasan yang sesuai dengan tingkatan cara berpikirnya. Janganlah memberikan informasi terlalu banyak secara sekaligus. Oleh karena ada kemungkinan orang tua akan terseret dalam debat kusir yang sengit, sebab di usia ini pun kemampuannya untuk berkelit dan beroposisi sudah tumbuh.
Selanjutnya anak-anak usia pra sekolah ini mungkin bertanya, mengapa bulan tampaknya berjalan mengikuti kita kalau kita sering bepergian naik kendaraan. Katakanlah bahwa bulan itu demikian tinggi letaknya dan sangat jauh dari kita, sehingga ke mana pun kita pergi ia pasti akan terlihat.
Memang tidak jarang pertanyaan-pertanyaan itu menuntut orang tua untuk berpikir. Namun, itulah satu-satunya cara untuk memuaskan rasa ingin tahu si anak.
Sejak usia dini anak-anak mempunyai rasa ingin tahu yang besar, Mereka senang memperhatikan hal-hal yang baru dan menyukai sesuatu yang berbau misteri. Kebiasaan anak untuk mengetahui kejadian yang berlangsung di sekitarnya merupakan hal yang wajar, dan rasa ingin tahu ini merupakan dasar dari timbulnya kemampuan untuk berpikir serta semangat untuk belajar.
Guna mengetahui berbagai pertanyaan yang lebih mendalam dan juga macam-macam teori mengenai kehidupan, anak membutuhkan waktu yang tidak terbatas serta kebebasan pribadi. Satu-satunya cara terbaik yang dapat dilakukan orang tua adalah mendengarkari anak dengan penuh penghargaan dan tanpa selalu menunjukkan sikap meng-gurui.
Sebetulnya bukan cuma rasa ingin tahu yang menyebabkan anak-anak sering mengajukan berbagai pertanyaan. Tetapi ada hal lain yang mendasari tingkah lakunya. Anak-anak melakukan itu terutama untuk belajar membedak’an antara suatu kenyataan dengan khayalan. Misalnya pada usia 2-3 tahun, anak-anak masih sering mencampuraduk-kan antara keduanya.
Karena pengalaman yang terbatas, keterangan yarrg berlebihan dari orang tua kerap kali menjadi tidak berarti atau bahkan membuat si kecil bingung. Oleh karena itu kita sebagai orang tua dapat memuaskan rasa ingin tahunya itu dengan memberinya keterangan yang sederhana dan jelas. Keterangan yang mendetil atau tidak lengkap akan membuatnya merasa tidak puas. Dengan mengingat ini semua kita dapat memahami apa yang akan dialami oleh anak-anak kita ketika mereka sedang berusaha memahami dunia sekelilingnya
Sumber buku Komunikasi Orang Tua dan Anak Karya Alex Sobur

Anatomi Krisis

Anatomi Krisis

Posted on Juni 22, 2009 by Safril

Anatomi Krisis
Seorang konsultan krisis terkenal dari Amerika Steven Fink, mengembangkan konsep anatomi krisis. Fink mendeskripsikan krisis seperti layaknya penyakit yang menyerang tubuh manusia, dan membagi tahapan krisis sesuai dengan terminologi kedokteran yang dipakai untuk melihat stadium penyakit yang menyerang manusia sebagai berikut:
1.tahap prodromal
2.tahap akut
3.tahap kronik
4.tahap resolusi (penyembuhan)
Menurut Fink keempat tahap tersebut saling terkait dan membentuk suatu siklus. Lama waktu yang ditempuh oleh setiap tahap sangat dipengaruhi oleh sejumlah variabel seperti di bawah ini
1. Tubuh manusia
jenis virus
usia pasien
Kondisi kesehatan pasien
Potensi untuk menerima pengobatan
Keterampilan dokter
2. Perusahaan
jenis bahaya
usia perusahaan
Kondisi perusahaan
Potensi untuk menerima treatment
Keterampilan para manajer
Apabila krisis yang terjadi tidak terlalu parah, maka waktu yang dibutuhkan oleh masing-masing fase tidak akan terlalu lama. Sebaliknya, apabila krisis yang terjadi termasuk krisis yang berat, dan juga tidak tertangani dengan baik, maka kemungkinan terburuk yang bisa dialami perusahaan adalah colapsnya perusahaan.
Sebagai elemen yang sangat berperan dalam menangani krisis yang terjadi pada suatu perusahaan/organisasi, maka praktisi humas harus berupaya mempercepat masa turning point krisis dari tahap prodromal ke tahap resolusi
Kita akan bahas satu persatu dari keempat tahap krisis di atas.
1.Tahap Prodromal
Krisis yang terjadi pada tahap ini kadang diabaikan karena perusahaan (sepertinya) masih berjalan secara normal. Tahap ini disebut juga dengan warning stage karena sesungguhnya pada krisis ini sudah muncul gejala-gejala yang harus segera diatasi. Tahap ini merupakan tahap yang menetukan. Apabila perusahaan mampu mengatasi gejala-gejala yang timbul, maka krisis tidak akan melebar dan memasuki fase-fase berikutnya. Naumn seandainya pada tahap ini krisis juga tidak berhasil ditangani, palin tidak perusahaan sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi tahap akut. Tahap prodromal bisa muncul dalam tiga bentuk:
a.jelas sekali, misalnya karyawan meminta kenaikan upah
b.samar-samar karena sulitnya menginterpretasikan dan memprediksi luasnya suatu kejadian. Misalnya adanya peraturan pemerintah yang baru, munculnya pesaing baru, dsb.
c.sama sekali tidak kelihatan. Gejala-gejala krisis tidak terlihat sama sekali. Perusahaan tidak dapat membaca gejala ini karena kelihatannya tidak ada masalah dan kegiatan perusahaan berjalan dengan baik. Pada bentuk ini, ada kalanya perusahaan mempunyai asumsi bahwa “sulit untuk memuaskan semua pihak”, maka merupakan hal yang wajar apabila kemudian ada pihak tertentu yang dirugikan. Namun yang membahayakan dari asumsi tersebut adalah perusahaan tidak memikirkan kerugian tersebut bisa merugikan perusahaan secara perlahan namun pasti.
2.tahap akut
Banyak perusahaan beranggapan pada tahap inilah krisis mulai terjadi karena tidak berhasil mendeteksi gejela krisis yang terjadi pada tahap prodromal. Pada tahap ini gejala yang semula samar atau bahkan tidak terlihat sama sekali mulai tampak jelas. Krisis akut sering disebut sebagai the point of no return, artinya apabila gejala yang muncul pada tahap peringatan (tahap prodromal) tidak terdeteksi sehingga tidak tertangani, maka krisis memasuki tahap akut yang tidak akan bisaa kembali lagi. Kerusakan sudah mulai bermunculan, reaksi mulai berdatangan, isu menyebar luas. Namun demikian, seberapa jauh krisis menimbulkan kerugian sangat tergantung dari para akktior yang mengendalikan krisis.
3.Tahap Kronis.
Apabila diibaratkan badai, pada tahap ini badai telah berlalu, yang tinggal adalah reruntuhan bangunan akibat badai. Berakhirnya tahap akut dinyatakan dengan langkah-langkah pembersihan. Tahap ini disebut juga sebagai the clean up phase atau the post mortem atau tahap recovery atau selfanalysis. Tahap ini ditandai dengan perubahan struktural, seperti penggantian manajemen, penggantian pemilik, atau bahkan mungkin juga perusahaan dilikuidasi. Perusahaan harus segera mengambil keputusan apakah akan mau hidup terus atau tidak. Kalau ingin hidup terus tentu perusahaan harus sehat dan mempunyai reputasi yang baik.
4.Tahap resolusi (penyembuhan)
Merupakan tahap pemulihan kembali kondisi perusahaan. Namun yang perlu diingat, karena tahap-tahap krisis ini merupakan siklus yang berputar, maka bila telah memasuki tahap resolusi perusahaan tetap harus waspada bila proses penyembuhan tidak benar-benar tuntas, krisis akan kembali ke tahap prodromal